Kehidupan

Oleh : Ali Sastraamidjaja

8x10.ai

Sang bayi lahir. Sang ibu merasakan sesuatu yang tak pernah ada sebelumnya. Perasaan ini kita sebut saja “sayang”. Kesayangan orang tua kepada anaknya itu dapat dikatakan melebihi dari kepada dirinya sendiri.

Sang bayi dirawat siang malam. Sang bayi tanpa disadarinya dapat merasakan rawatan pada dirinya. Rasa dirawat ini tumbuh di dalam jiwa sang bayi menjadi rasa aman, rasa terlindung. Bila ada apa saja yang disaksikan oleh sang bayi, ia akan minta bantuan kepada sang perawat, ialah orang tua, terutama sang ibu.

Sang bayi terus tumbuh dan sang ibu terus merawatnya sambil mendidik, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh sang bayi. Makin hari makin banyak pendidikan yang diberikan kepada sang bayi yang terus tumbuh menjadi anak kecil.

Anak ini tetap berlindung pada orang tuanya. Pendidikan dari orang tua terus meningkat, agar sang anak dapat mandiri. Pendidi­kan kepada anak kecil ini dibantu dan dilengkapi oleh sang guru di Taman Kanak-Kanak. Sang anak dapat merasakan adanya perlindungan dari sang guru, tapi ada perbedaan antara perlindungan dari guru dan dari orang tua.

Sang anak tumbuh terus menjadi remaja. Pada masa remaja ini dalam dirinya timbul perasaan baru, ialah tertarik oleh remaja dari kelamin yang berlainan dari kelamin dirinya. Perasaan ini disebut cinta. Berbicara masalah cinta, ternyata banyak perta­nyaan yang sulit dijawab. Banyak pertanyaan yang malah tak dapat dijawab. Pertumbuhan cinta ini menuju kepada kehidupan berumah-tangga yang terpisah dari orang tua masing-masing.

Hidup berumah tangga baru dapat terwujud setelah sang remaja menjadi dewasa. Orang dikatakan dewasa bila ia sekurang-kurangnya telah dapat menghidupi dirinya, terlepas dari ketergantungan pada orang tuanya. Malah dalam kehidupan berumah-tangga, orang dewasa memikul berbagai tanggung jawab, karena dalam kehidupan itu bukan hanya berumah-tangga, melainkan juga bermasarakat dan bernegara.

Di dalam kehidupan bernegara, orang dewasa dituntut turut menghidupi kehidupan negara. Dalam bermasarakat, orang dewasa itu dituntut turut menghidupi kehidupan masarakat. Dalam kehidupan berumah-tangga dituntut menghidupi kehidupan rumah-tangga dan dia selaku pribadi dituntut pula menghidupi kehidupan dirinya.

Tuntutan ini semua berlangsung selama hayat dikandung badan. Dengan bertambahnya umur, kesanggupan memenuhi tuntutan-tuntutan itu makin berkurang. Bila telah memasuki manusia jompo, maka dia dengan sendirinya tak mampu memenuhi tuntutan di atas, malah sebaliknya, ia membutuhkan pertolongan dari orang lain dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Ahirnya ia meninggalkan kehidupan dan disebut mati, meninggal dunia, wafat atau masih ba­nyak lagi sebutan lainnya.

Secara singkat dapat dijajarkan urutan dalam kehidupan seseorang, ialah dari janin, lahir bayi, tumbuh menjadi anak kecil, lalu meningkat menjadi remaja. Kemudian memasuki masa dewasa yang makin tambah hari makin tua, sampai ke masa jompo yang diahiri dengan kematian. Begitulah kehidupan jasmaniah/fisik manusia. Tapi masalah kematian seseorang tidak terikat oleh usia. Kematian bisa datang setiap saat dalam keadaan bagaimanapun.

Dengan dihadapkan pada kenyataan, bahwa semua dan segala kehidupan diahiri dengan kematian, maka lahirlah berbagai tangga­pan terhadap kenyataan ini. Manusia berusaha untuk dapat memahami kenyataan yang disaksikannya.

Para bujangga, para resi, para empu, para cerdik pandai, para nabi, para pemikir dan para ilmuwan dimanapun mereka berada dan pada saat yang bersamaan dan pada saat yang berlainan, mereka semua terus berusaha untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya masing-masing. Kenyataan pengalaman telah membuktikan, bahwa pada setiap jawaban menimbulkan pertanyaan baru dan pertanyaan beri­kutnya dari jawaban tadi. Dari dahulu hingga kini dan seterusnya pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan.

Atas adanya berbagai jawaban, lahirlah berbagai pengelompo­kan pemahaman. Atas pertanyaan yang kabur jawabannya dan belum dapat terjawab dimasukkan dalam kelompok Mistika atau Gaib. Kata Mistika dan Gaib ini artinya tidak masuk akal, tidak bisa dimengerti, tidak terjangkau oleh kemampuan manusia masa lalu, masa kini dan masa datang. Orang-orang yang bergulat dalam bidang ini disebut para-normal, nabi, resi, dukun, mistikus, theolog dsb.

Atas pertanyaan yang jawabannya samar tapi masuk akal/logis, dikelompokkan dalam Meta-fisika. Jawaban Meta-fisika ini melahir­kan pertanyaan baru dan pertanyaan lanjutannya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini melahirkan jawaban Meta-fikika lagi atau jawaban yang dapat dibuktikan kebenarannya. Jawaban yang dapat dibuktikan kebenarannya dimasukkan kedalam kelompok Fisika.

Dari jawaban dalam kelompok Fisika ini, lahir berbagai teori kebenaran alami, yang benar-benar dapat difahami oleh kemampuan manusia. Maka lahir pula pertanyaan baru dan pertanyaan lanjutan­nya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini memberi jawaban pada Fisika lagi dan jawaban lain yang lebih membuktikan pengertian ialah dengan ditemukannya jawaban berupa rumus dari teori-teori hasil jawaban Fisika. Teori-teori yang disertai rumus-rumus lalu dikelompokkan dalam Matematika.

Dengan adanya rumus-rumus itu orang bisa berbuat banyak, karena segalanya dapat dihitung dan dapat diperhitungkan. Rumus-rumus ini melahirkan berbagai fungsi bentuk yang sesuai dengan hasil perhitungan dari rumusan tadi. Fungsi bentuk ini merupakan jawaban baru yang dikelompokkan dalam Teknika.

Dengan telah dicapainya rumusan yang menghasilkan fungsi bentuk, maka manusia mengembangkannya dengan bentuk fungsi. Kedua hal ini memberi kebebasan pada manusia untuk membentuk fungsi dan memfungsikan bentuk. Bentuk berfungsi dan fungsi berbentuk yang dibuat dengan perhitungan yang meyakinkan, melahirkan kelompok Mekanika. Dari kelompok Mekanika ini dihasilkan berbagai bentuk dan berbagai fungsi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Juga menambah kemampuan dalam menganalisa bentuk dan fungsi.

Maka perkembangan teknologi selanjutnya berkembang sangat pesat dibandingkan dengan perkembangan lainnya dalam kehidupan. Apalagi setelah diproduksi dalam industri, kebudayaan dan peradaban manusia sangat dipengaruhi. Dalam kehidupan modern, manusia sangat terikat oleh produk-produk industri. Makin hari pertumbu­hannya makin terasa dan makin berpengaruh. Apalagi sekarang dengan adanya komputer, maka kehidupan masa datang sangat meng­gantungkan pada perkembangan teknologi yang terus meningkat.

Kehadiran komputer membuka jalan untuk menjawab hal-hal yang dulu dianggap tidak mungkin menjadi mungkin, karena komputer dapat bekerja sangat cepat dan hasilnya dapat dipercaya. Karena komputer dapat digunakan untuk berbagai keperluan, maka pemanfaa­tan komputer dalam kehidupan tak dapat ditunda, bahkan tak dapat tertinggal oleh perkembangannya.

Mengenai Mistika, tetap masih berada jauh diatas kemampuan komputer. Tetapi kehadiran komputer telah banyak membuka tabir-tabir kerahasiahan alam, juga sebagian kerahasiahan Mistika. Cara yang paling sederhana ialah dengan mengumpulkan data secukupnya untuk dianalisa dengan bantuan komputer. Maka akan diketahui sifat dari susunan data yang bersangkutan. Dari hasil penelitian itu memungkinkan untuk mendapat inspirasi dan ide baru. Dengan demikian sedikit demi sedikit kerahasiahan alam makin terungkap.

Sebelum manusia menginjakkan kakinya di bulan, orang masih bertanya, apakah hukum-hukum alam yang berlaku di bumi berlaku juga di planit lainnya ? Setelah terbukti dengan hukum-hukum alam yang berlaku di bumi, manusia dapat mendarat dan menginjakkan kakinya di bulan, baru pertanyaan di atas terpecahkan dengan tegas. Maka keberanian manusia untuk melanjutkan penelitiannya dapat dengan leluasa dikembangkan.

Hukum-hukum alam yang berlaku di bumi, 100% berlaku di alam, karena memang hukum alam. Maka daya fikir manusia dapat pula dikembangkan, karena didukung oleh bukti-bukti yang telah dilaku­kan oleh perkembangan teknologi. Demikian pula mengenai Mistika. Bagi hukum dalam Mistika, juga harus berlaku hukum alam, karena Mistika itupun adalah alam itu sendiri yang terikat oleh hukum alam ciptaan Tuhan.

Mengenai Mistika yang sudah-sudah, kebanyakan didogmakan. Tapi setelah dipelajari dan dibandingkan dengan hukum-hukum alam, maka sebagian dari dogma itu sudah dapat dibuktikan, bahwa yang didogmakan itu sebenarnya merupakan ilmu yang dapat dimasukkan ke kelompok Meta-fisika. Ini berarti bahwa kemampuan manusia telah bergeser lebih jauh ke dalam alam Mistika. Mungkin kelak, apabila komputer telah dapat berjalan secara multi dimensi, akan lebih banyak lagi rahasia alam yang dapat terungkap.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh manusia itu sangat banyak, sangat beraneka, sangat rumit dan tak ada hentinya. Orang mulai bertanya sejak masih anak yang baru bisa bicara. Sampai tua pertanyaan-pertanyaan masih tetap diajukan. Generasi demi genera­si pertanyaan tetap tak ada habisnya, malah makin hari makin banyak yang menjadi pertanyaan.

Bayi belum bisa bertanya, tapi sang perawat (ibunya) sering bertanya mengenai bayinya bila terjadi sesuatu. Biasanya bayi itu hanya bisa menangis. Sang ibulah harus menjawab tangisan bayinya. Karena merasa “kareunang” (popoknya basah), sang bayi menangis minta diganti dengan yang kering. Sang ibu menjawab tangisan itu dengan mengganti dengan popok baru yang kering. Lalu sang bayi berhenti menangis karena tidak kareunang lagi.

Tangisan bayi itu bukan hanya karena kareunang saja, tapi masih banyak lagi yang lainnya. Semua tangis itu harus dijawab oleh sang ibu. Bila tidak dijawab, maka tangisnya tidak berhenti. Tapi ada kalanya sang bayi lama tidak menangis. Sang ibu menjadi cemas juga. Lalu sang ibu memeriksa keadaan sang bayi, jangan-jangan sang bayi itu demam. Tanya jawab tanpa kata yang diucapkan itu, hanya sang ibu yang ngomong sendiri.

Lama-lama sang bayi yang tumbuh menjadi anak kecil mulai mengerti kata-kata yang diucapkan oleh sang ibu. Lalu dicobanya meniru mengucapkan kata-kata yang didengarnya, terutama dari sang ibu. Mula-mula ucapannya tidak keruan, tapi kedengarannya sangat lucu. Mengucapkan kata-kata makin lama makin benar, meski masih cadel, karena belum bisa membunyikan suara R. Semua suara R diganti dengan suara L. Untuk melatih sang anak mengucapkan bunyi R, dibuat susunan kalimat yang mencampurkan bunyi R dan L, seper­ti : “seekor ular melingkar-lingkar pada pagar rumah Abdul Rahim” atau dalam bahasa Sunda “laleur mapay areuy”.

Sang anak merasa bangga, bila dapat mengatakannya dengan benar. Dia merasa tidak menjadi anak kecil lagi, karena sudah dapat mengucapkan bunyi R dengan benar. Bunyi yang kita ucapkan ialah dengan menggetarkan ujung lidah, tapi ada yang dengan cara seperti orang ngorok. Bila anak sudah bisa mengucapkan bunyi R, maka dia tidak memperhatikannya lagi. Masalah pindah ke yang lain. Dia banyak bertanya untuk mengetahui segala yang dilihat, didengar, dicium, dirasa dan dirabanya. Sang anak mulai berkena­lan dengan panca indra.

Sang anak mulai nakal, karena didorong oleh nalurinya yang sedang tumbuh. Dia melakukan banyak hal karena ingin tahu. Dia belum banyak tahu tentang benar dan salah. Maka saat itulah ia diajari membedakan yang benar dan yang salah. Perbuatannya yang salah tentu akan dimarahi, mungkin sampai dihukum dengan dijewer atau dipukul. Hukuman ini maksudnya hanya mendidik sang anak.

Mula-mula hukuman itu berupa hukuman fisik/badani. Makin remaja hukuman itu beralih ke hukuman kejiwaan, ialah dipermalu­kan. Hukuman ini dirasakan lebih berat dari hukuman fisik. Bila orang tidak memiliki rasa malu, maka orang itu sebenarnya tidak memiliki rasa kemanusiaan. Ada banyak hal yang bisa membuat seseorang merasa malu. Sebaiknya orang menghindarkan diri dari segala perbuatan yang bisa membuat dirinya menjadi malu. Oleh karena itu sebaiknya, sebelum melakukan sesuatu, pertimbangkan dahulu akibat yang mungkin akan terjadi. Bila kiranya akan berakibat buruk dan memalukan, sebaiknya jangan dilakukan perbuatan itu. Atau berta­nyalah secara terus terang bila memang belum tahu dan ingin tahu.

Seseorang yang dengan sadar dapat membatalkan perbuatan yang akan berakibat buruk, adalah perbuatan yang membentuk pribadi yang kuat. Dia bisa memilih apa yang baik dilakukan dan menghin­dar dari perbuatan yang buruk dan berakibat buruk. Perbuatan yang demikian mulya itu merupakan ukuran derajat budaya seseorang. Dan apabila suatu bangsa berbuat mulya, maka budaya bangsa itu sangat tinggi derajatnya.

Berbuat kemulyaan bukan karena mengharapkan pujian, tetapi perbuatan kemulyaan memang perbuatan terpuji. Para orang tua yang mendidik anak-anaknya untuk berbuat kemulyaan, menunjukkan kemulyaan dari yang mendidiknya. Hanya dengan kemulyaan, keluhuran budi pekerti akan terwujud dan kefaedahan alam ibadat akan ter­jelma menjadi kenyataan dalam kehidupan.

Untuk bisa berbuat mulya, orang harus belajar dan berlatih. Belajar untuk memahami permasalahannya. Berlatih untuk membiasa­kan diri berbuat mulya. Perbuatan mulya membuat kehidupan menjadi tenang dan mantap, karena kita sudah melakukan perang di dalam diri sendiri. Perang antara tarikan setan dan tarikan malaikat di dalam diri kita. Perang antara tarikan siwa, tarikan wisnu dan tarikan brahma yang ada dalam diri kita. Perang antara tarikan ke barat, ke timur, ke utara dan ke selatan yang ada dalam tubuh kita. Dan banyak lagi perang-perang lainnya yang sulit diperinci. Semua perang itu dilakukan di dalam diri kita sendiri.

Yang memenangkan dalam perang itulah yang melahirkan perbua­tan yang kita lakukan. Perang itu dapat berlangsung lama, tetapi dapat pula hanya dalam ukuran detik. Bila kita sanggup mempersatukan seluruh tarikan dalam perang itu, maka akan melahirkan apa yang disebut perbuatan mulya. Dia tidak memihak kepada siapapun. Melainkan dia mempersatukan seluruhnya untuk tidak berpihak. Bila berbuat memihak maka keadilah tak mungkin terwujud, karena pasti akan ada fihak yang merasa dirugikan dan ada fihak yang merasa di untungkan. Jadi keadilan hanya akan terwujud bila tidak memihak kepada siapa dan apapun. Dia memihak kepada kebersatuan.

Kebersatuan adalah keseimbangan dinamis, karena waktu tidak pernah berhenti. Perubahan terus terjadi pada setiap saat sesuai dengan berjalannya waktu. Keseimbangan dinamis harus berjalan bersamaan dengan waktu. Untuk itu kebersatuan perlu terus dipeli­hara sepanjang masa, agar tidak timbul keretakan dan perpecahan.

Untuk mendalami masalah ini, kita dapat mempelajarinya dari hukum-hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang diciptakan Tuhan untuk ditaati oleh seluruh alam, termasuk manusia. Tuhan tidak pernah bicara seperti manusia, tapi hukum alam yang abadi itulah bentuk ucapan Tuhan. Hukum alam itu sendirilah yang memungkinkan terbentuknya berbagai mahluk penghuni planit. Hukum alam itu pulalah yang memungkinkan adanya dan tidak adanya mahluk penghuni planit. Kita tidak mungkin dapat membayangkan betapa mulyanya ciptaan Tuhan itu. Kemampuan manusia sangat terbatas, mengenali diri sendiri pun tak mampu. Oleh sebab itulah manusia perlu terus belajar, untuk lebih berkenalan dengan hukum-hukum alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Hukum alam terlalu besar bagi ukuran kemampuan manusia. Jadi kita mulai dari yang sederhana. Kita kembali pada kelahiran bayi. Yang akan kita perhatikan sekarang ialah mengenai perasaan. Sang bayi setelah lahir akan merasa aman, karena dilindungi oleh orang tuanya. Setelah menjadi anak kecil, dia mulai mengetahui, bahwa sang pelindung, ialah orang tuanya, ahirnya akan meninggal dunia. Ini berarti akan kehilangan pelindung dirinya. Rasa perlunya ada pelindung yang telah menyatu dalam dirinya itu, terus berkembang. Dicarinya pelindung yang abadi.

Seandainya kita hidup di jaman purba, pelindung apa kiranya yang abadi dan dapat menggantikan orang tua sebagai pelindung dan memenuhi kebutuhan rasa dilindungi, yang telah tumbuh dalam diri kita sejak kecil. Orang dijaman purba, dalam kehidupannya menyatu dengan alam. Cara berfikirnya masih sederhana. Dan binatang buas yang ada disekitarnya, dapat menerkam diri seseorang setiap saat.

Mungkin diri seseorang itu diri kita. Apa yang dapat dijadi­kan pelindung diri. Dari penyaksian, percobaan dan latihan orang dapat memanfaatkan batu dan kayu sebagai alat untuk melindungi diri kita terhadap terkaman binatang buas. Maka dengan kehadiran kayu dan batu dekat dirinya, terasa suasana aman sebagai pengganti dilindungi oleh orang tua sewaktu masih kecil. Maka wajarlah bila seseorang menaruh hormat kepada sang pelindung, meski hanya berupa batu dan kayu.

Rasa hormat itu tumbuh dan meresap. Batu kecil yang dipakai sebagai pelindung dirinya, berasal dari batu besar. Kayu kecilpun berasal dari kayu besar. Maka terhadap batu besar dan kayu besar, timbul rasa hormat pula. Rasa hormat demikian kemudian melahirkan upacara penghormatan “buatan manusia”, yang tumbuh menjadi adat kebiasaan yang dilakukan secara berkala. Batu dan kayunya sendiri tidak menuntut upacara itu. Hanya ulah manusia “tertentu”, yang telah memanipulasi rasa hormat yang tulus dari rasa terlindungi, menjadi suatu upacara yang diciptakan, yang dibuat untuk tujuan tertentu pula.

Perlindungan dari kayu dan batu itu, bukanlah hanya terhadap ancaman terkaman binatang buas saja, tapi juga terhadap cuaca dan kebutuhan hidup lainnya. Di jaman modern masa kini, rasa hormat seperti itu telah lenyap, malah dikatakan sebagai perbuatan musrik. Batu dan kayu adalah mahluk Tuhan. Apa salahnya kita selaku sesama mahluk berbuat saling menghormati. Menghormati tak berarti mempertuhan. Menghormati bukan mempertuhan. Kita sesama manusia pun dianjurkan untuk saling menghormati. Apakah salah bila kita menghormati sesama mahluk ?

Yang pantas disebut musrik, ialah upacara yang dibuat-buat oleh manusia sendiri, tapi si pembuatnya bersembunyi dibelakang “yang misterius”. Sehingga sipelaku/peserta upacara, tak mengerti apa yang dia lakukan. Peserta atau umat telah terkena dorma. Bila dogma pada umat itu makin meresap, maka terjadilah umat fanatik.

Peradaban manusia terus tumbuh. Dari jaman batu bergeser ke jaman logam. Penghormatanpun pindah ke logam, terutama emas. Tapi sifat penghormatannya berbeda dengan pada jaman batu. Pada jaman logam sudah memasuki penghormatan campuran. Penghormatan kejiwaan sifatnya sakral, sedangkan penghormatan kebendaan sifatnya sama-sekali tidak sakral.

Emas dan permata dijadikan bentuk perhiasan yang indah dan megah. Penghormatan pada keindahan bendanya mengurangi kehormatan kejiwaan. Malah pertumbuhan lanjutannya manusia tergila-gila oleh benda-benda berharga. Kekayaan dijadikan pelindung diri. Budaya demikian beranggapan, bahwa segalanya dapat di”beli” dengan kekayaan. Maka lahirlah “kerajaan-kerajaan” yang mengandalkan segalanya pada kekayaan. Mereka berperang memperebutkan kekayaan.

Manusia menjadi biadab. Rasa hormat berubah menjadi takut. Menghormati bukan lagi karena rasa hormat, melainkan karena rasa takut. Rasa takut dikalangan rakyat miskin makin menjadi-jadi, karena tak ada yang dapat dijadikan pelindung.

Ketakutan yang sangat mencekam, mengakibatkan manusia pasrah diri. Dalam kejiwaan yang pasrah ini, tanpa diduga, manusia dapat memasuki alam lain di luar alam kehidupan manusia biasa. Alam ini disebut alam gaib atau mistik. Di alam gaib terdapat berbagai keajaiban yang tidak ada dalam kehidupan biasa. Maka dengan bekal pengalaman keajaiban ini, orang memperkenalkan Tuhan.

Diceriterakannya mengenai adanya surga dan neraka. Kenikma­tan di surga dapat dicapai oleh setiap orang, demikan juga sik­saan di neraka dapat menimpa setiap orang. Pintu surga hanya bisa dimasuki oleh orang yang suci jiwanya, sisanya akan masuk neraka.

Perkembangan kehidupan manusia selanjutnya merupakan percam­puran dari perlindungan kebendaan dan perlindungan kejiwaan. Bila dalam suasana derita, manusia condong pada perlindungan kejiwaan. Tapi dalam suasana gembira, manusia condong pada perlindungan kebendaan. Perwujudan kedua perlindungan ini, tiap jaman dan tiap tempat, tumbuh dengan berbagai cara, berbagai upacara. Makin lama makin banyak coraknya, makin bervariasi penampilannya. Tapi tidak ada satupun yang bersifat menyeluruh. Satu sama lainnya bersaing, sampai timbul berbagai peperangan, berbagai pembantaian oleh umat yang fanatik. Mereka beranggapan, bahwa hanya umatnya saja yang paling benar, umat lain salah, kafir, murtad, musrik dsb.

Perdamaian hanya bersifat semu, karena bukan perwujudan dari kesucian jiwa. Tidak ada pelindung yang sungguh-sungguh dapat diandalkan. Kecurigaan dan permusuhan masih tetap tersimpan dalam hati. Bila keadaan berubah, maka kecurigaan mencekam kehidupan. Manusia berusaha untuk berpegang pada Tuhan, bertobat pada Tuhan. Tapi kenyataan hingga kini tetap masih jauh dari harapan adanya pelindung yang handal.

Agama-agama yang telah berlangsung berabad-abad, beribu-ribu tahun, terbukti tidak berhasil menjadi pelindung yang diharapkan. Apalagi terhadap agama yang berlainan, dalam satu agama itu sendiripun terjadi perang. Ini semua telah membuktikan ketidak handalannya sebagai pelindung.

Di jaman mutahir, setelah usai perang dunia kedua, dibentuk badan dunia yang disebut PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Tapi waktu terjadi perang Iraq lawan Kuwait, PBB dapat dikendali oleh Amerika yang memihak ke musuh Iraq, ialah Kuwait, Arab Saudi dan Israel. Ini menunjukkan, bahwa PBB bukan pelindung yang handal.

Para pakar diseluruh dunia, terus berusaha untuk menemukan cara yang dapat memecahkan masalah kemelut di dunia selama ini, yang tak pernah terselesaikan, karena masalahnya memang rumit dan mendasar. Masalah yang sedang kita hadapi sekarang lebih bersifat kejiwaan, sedangkan yang lainnya menambah beratnya permasalahan serta menambah rumit.

Permasalahan para pakar dunia, sekurang-kurangnya berskala internasional malah mereka telah melibatkan alam semesta ke dalam permasalahannya. Para pemikir “versi-barat” menitik beratkan pada teknologi. Para pemikir “versi-agama” terikat oleh kitab sucinya. Sedangkan masalah mistik, keberadaannya di luar kemampuan manusia biasa. Jangkauan kemampuan manusia biasa hanya sampai permasala­han meta-fisika.

Jadi serumit apapun yang kita hadapi, hanya dapat difikirkan sampai masalah meta-fisika saja. Hal-hal yang bersifat mistik, hanya dapat dijadikan / ditempatkan sebagai pelengkap dalam memecahkan permasalahan kita atau diabaikan. Bila tidak demikian, bagaimana dapat kita memecahkan suatu masalah oleh yang tidak kita ketahui, tidak kita fahami, tidak kita mengerti, tidak logis.

Kita harus berani menentukan sikap. Kita harus berani menga­kui kemampuan kita yang sangat terbatas ini. Permasalahan yang sedang kita hadapi terutama ialah permasalahan manusia dan akibat dari ulah manusia. Jadi sikap kita ialah intern manusia. Kita jangan mempersulit permasalahan dengan melibatkan hal-hal di luar manusia dan di luar kemampuan manusia.

Kita jangan menakut-nakuti diri dengan kemungkinan adanya serangan dari mahluk angkasa luar. Seandainyapun itu terjadi, apa yang dapat kita lakukan, menghadapi kemampuan mereka yang jauh di luar kemampuan kita. Kita jangan takut oleh film-film horor, fantasi dan silat. Kita tahu bahwa film-film itu semuanya bohong.

Kita tentukan apa saja masalah yang kita permasalahkan. Lalu kita usahakan penanggulangannya. Kita lakukan penanggulangan yang kesatu, sebelum melakukan penanggulangan yang kedua dst.

Timbulnya masalah itu karena perbuatan salah.

Penanggulangannya ialah jangan berbuat salah.

Perbuatan salah itu karena gegabah.

Penanggulangannya ialah yangan berbuat gegabah.

Perbuatan salah itu karena bodoh.

Penanggulangannya ialah jangan dilakukan oleh orang bodoh.

Perbuatan salah itu karena serakah.

Penanggulangannya ialah jangan berbuat serakah.

Perbuatan salah itu karena lupa.

Penanggulangannya ialah jangan dilakukan oleh orang pelupa.

Katakanlah ini sebagai penanggulangan kesatu. Bila dapat ditanggulangi secara kesatu, pergunakanlah cara ini. Bila cara ini kurang mempan, kita melangkah ke penanggulangan kedua.

Penanggulangan kedua tentu tak sesederhana kesatu. Sebab perlu ada ketegasan batasan antara “salah” dan “benar”. Batasan ini sendiri adalah masalah yang cukup rumit, sebab sudut pandang yang berlainan tidak akan dapat mempertemukan pemecahan masalah.

Salah dan benar dalam : mekanika, teknika, matematika dan fisika dapat ditempatkan pada masalah kesatu, sebab batasannya sudah tegas. Tetapi di dalam meta-fisika, sifatnya relatif. Dalam mistika kita tidak tahu, jadi tidak perlu diperbincangkan.

Kita bicarakan saja batasan dalam meta-fisika. Dikatakan relatif, karena sudut-pandangnya tak sama, atau karena dibandingkan dengan yang lain. Bila memang ingin batasan yang tegas, maka sudut-pandang dan pembandingnya harus disamakan. Untuk mempersatukannya kita pilih yang paling netral dan menyeluruh ialah ALAM.

Benar menurut alam, kita nyatakan sebagai benar, salah menurut alam kita nyatakan sebagai salah. Dengan berpedoman pada pernyataan ini, maka kemungkinan “relatif” diperkecil bidangnya. Bila pernyataan ini tidak diterima, sebaiknya pembicaraan dihen­tikan saja, sebab tak akan pernah selesai.

Alam di sini digunakan sebagai alat ukur, dalam arti yang terjangkau oleh daya fikir manusia. Tuhan tidak dilibatkan dalam masalah kita ini. Kita tidak berani melibatkan Tuhan ke dalam masalah kita. Jadi apa yang tertera dalam kitab suci mana pun tak dilibatkan dalam masalah kita. Ini merupakan pernyataan kita. Bila pernyataan ini tak diterima, sebaiknya pembicaraan dihenti­kan saja, sebab tak akan pernah selesai.

Setelah pernyataan ini diterima, harus diikuti dengan mene­patinya. Jadi menepati pernyataan adalah perbuatan yang benar dan mengingkari pernyataan adalah perbuatan yang salah. Maka dengan pernyataan ini penilaian relatif dapat dihapuskan. Benar adalah tidak salah dan salah adalah tidak benar.

Antara benar dan salah ini, hanya satu yang dapat dilakukan, benar yang tidak salah atau salah yang tidak benar. Pasangan yang seperti ini tidak dapat dipisahkan. Untuk memudahkan pembicaraan selanjutnya kita sebut saja “serba-dua”. Kenyataan yang serba dua banyak macamnya, seperti : atas dan bawah, kiri dan kanan, on dan off, dsb.

Selain serba-dua ada juga yang serba-tiga, seperti positif, nol dan negatif. Dalam serba-tiga, menentukan benar dan salah tak semudah dalam serba-dua. Di sini harus disertai persaratan. Misal

1     bila positif disamakan dengan benar,

maka nol dan negatif menjadi tergolong salah.

2     bila nol disamakan dengan benar,

maka positif dan negatif menjadi tergolong salah.

3     bila negatif disamakan dengan benar,

maka nol dan positif menjadi tergolong salah.

4     bila positif disamakan dengan salah,

maka nol dan negatif menjadi tergolong benar.

5     bila nol disamakan dengan salah,

maka positif dan negatif menjadi tergolong benar.

6     bila negatif disamakan dengan salah,

maka nol dan positif menjadi tergolong benar.

Jadi dari serba-tiga melahirkan 6 kemungkinan. Oleh karena itu diperlukan pertimbangan matang, untuk menentukan ketegasan, mana yang dinyatakan benar. Hanya 1 diantara 6 nomor di atas.

Kita lanjutkan pada yang serba-empat, misal: utara, selatan, timur dan barat. Uraiannya seperti di atas :

1     Bila utara disamakan dengan benar,

maka selatan, timur dan barat tergolong salah.

2     Bila selatan disamakan dengan benar,

maka timur, barat dan utara tergolong salah.

3     Bila timur disamakan dengan benar,

maka barat, utara dan selatan tergolong salah.

4     Bila barat disamakan dengan benar,

maka utara, selatan dan timur tergolong salah.

5     Bila utara dan selatan disamakan dengan benar,

maka timur dan barat tergolong salah.

6     Bila selatan dan timur disamakan dengan benar,

maka barat dan utara tergolong salah.

7     Bila timur dan barat disamakan dengan benar,

maka utara dan selatan tergolong salah.

8     Bila barat dan utara disamakan dengan benar,

maka selatan dan timur tergolong salah.

9     Bila utara, selatan dan timur disamakan dengan benar,

maka barat tergolong salah.

10    Bila selatan, timur dan barat disamakan dengan benar,

maka utara tergolong salah.

11    Bila timur, barat dan utara disamakan dengan benar,

maka selatan tergolong salah.

12    Bila barat, utara dan selatan disamakan dengan benar,

maka timur tergolong salah.

13    Bila utara disamakan dengan salah,

maka selatan, timur dan barat tergolong benar.

14    Bila selatan disamakan dengan salah,

maka timur, barat dan utara tergolong benar.

15    Bila timur disamakan dengan salah,

maka barat, utara dan selatan tergolong benar.

16    Bila barat disamakan dengan salah,

maka utara, selatan dan timur tergolong benar.

17    Bila utara dan selatan disamakan dengan salah,

maka timur dan barat tergolong benar.

18    Bila selatan dan timur disamakan dengan salah,

maka barat dan utara tergolong benar.

19    Bila timur dan barat disamakan dengan salah,

maka utara dan selatan tergolong benar.

20    Bila barat dan utara disamakan dengan salah,

maka selatan dan timur tergolong benar.

21    Bila utara, selatan dan timur disamakan dengan salah,

maka barat tergolong benar.

22    Bila selatan, timur dan barat disamakan dengan salah,

maka utara tergolong benar.

23    Bila timur, barat dan utara disamakan dengan salah,

maka selatan tergolong benar.

24    Bila barat, utara dan selatan disamakan dengan salah,

maka timur tergolong benar.

Jadi dari serba-empat melahirkan 24 kemungkinan. Oleh karena itu diperlukan pertimbangan matang, untuk menentukan ketegasan, mana yang dinyatakan benar. Hanya 1 diantara 24 nomor di atas.

Seterusnya yang serba-lima, serba-enam, serba-tujuh dst. Tentu pilihannya menjadi makin rumit, sedangkan yang benar tetap hanya satu nomor.

Penempatan benar itu ditentukan oleh permasalahannya. Misal kita dari Bandung akan ke Jakarta. Bila kita memilih jalan utara atau jalan barat, pilihan itu benar, tapi bila memilih jalan ke timur atau jalan ke selatan tentu salah. Tapi bila dari Bandung akan ke Tasik, maka jalan yang benar ialah jalan yang ke timur, yang lainnya salah.

Jadi karena benar itu ditentukan oleh permasalahannya, maka penentuan masalahnya yang mesti benar. Selanjutnya perbincangan mengenai benar dan salah ini, untuk dikaitkan pada masalah dalam kehidupan manusia, mahluk dan alam. Dengan demikian kita masing-masing dituntut untuk berani menentukan benar dan salah yang disertai tanggung-jawab atas pilihannya itu. Masalah benar dan salah jangan menggantungkan pada pilihan orang lain, bila kita tidak sependapat, apalagi bila kita tidak mengerti.

Bila seseorang sudah bisa dengan tepat menentukan benar dan salah untuk pedoman yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri, Kepribadiannya tumbuh makin dewasa. Kedewasaan demikian membuka jalan ke arah sukses dan makin memahami apa yang diartikan benar dan salah. Tentu orang yang bijak tak akan memilih berbuat salah.

Jaman dahulu kebenaran didogmakan. Jadi meski tidak mengerti mengapa hal itu dianggap benar, tetap harus ditaati, bila tida tentu akan ditindak. Tapi jaman terus tumbuh berkembang. Lama-lama orang tak mau lagi menerina dogma, karena telah banyak yang mengerti apa yang benar dan apa yang salah.

Sampai sekarang benar dan salah menurut dogma masih ada. Terutama benar dan salah yang berhubungan dengan mistika. Memang masalah mistika tidak terjangkau oleh daya fikir manusia. Tetapi kita dapat berpedoman pada alam. Bila ada yang bertentangan dengan yang terdapat dalam alam, dapat kita katakan bahwa benar dan salah itu hanyalah buatan manusia, bukan benar dan salah menurut mistika.

Misalnya mengenai Tuhan yang tak terkatakan. Mengapa orang membicarakan Tuhan seperti manusia yang berbicara, yang marah, yang mengasihi dsb. Bila benar demikian, maka gugurlah pengertian “tak terkatakan” bagi Tuhan.

Sebenarnya bukannya Tuhan yang kita bicarakan, melainkan pengertian manusia mengenai Tuhan yang dipertuhan oleh manusia yang biasa kita bicarakan. Dan bila diperhatikan, membicarakan Tuhan itu sama dengan membicarakan budi-pekerti. Kelainannya dari budi-pekerti ialah mengenai “upacara” atau “seremoni” keagamaan. Tiap agama memiliki tata-cara upacara yang tidak sama dengan yang lain. Tata-cara dalam budi-pekerti ialah berlaku bijak dan sopan. Kepada Tuhan pun sama, hanya kwalitas/kesungguhannya lebih mantap dan sangat pribadi.

Dalam bahasa Sunda, solat sama dengan “sembah-hyang” (sem­bahyang). Sedangkan berlaku bijak dan sopan disebut “netepan”. Arti netepan secara katanya ialah menepati, melakukan ketetapan. Jadi sembahyang dan netepan jelas berbeda. Tapi dalam pelaksanaan praktis keagamaan, keduanya dianggap sama, karena dianggap searti dengan solat dan bermaksud menghilangkan kedua cara yang tak sama itu dari pengertian. Ini berarti didogmakan.

Malah sebenarnya solat, sembahyang dan netepan itu tak sama. Solat ialah melakukan aturan upacara dalam agama. Sembahyang ialah menyembah kepada hyang (Tuhan) yang dipertuhan oleh seseorang secara pribadi tanpa upacara tertentu. Netepan ialah memenuhi atau mematuhi ketetapan yang dapat difahami oleh pelakunya, karena caranya disesuaikan dengan tujutnnya. Jadi netepan itu sebenarnya tidak dikaitkan dengan Tuhan, melaikan ada kaitannya dengan kebijakan dan kesopanan. Ketetapannya dapat kita tentukan sendiri.

Netepan lebih cocok sebagai perbuatan harian biasa, sedang kan sembahyang atau solat adalah perbuatan yang dikaitkan dengan Tuhan. Tetapi karena netepan dilakukan dengan bijak dan sopan, maka kualitasnya sama hampir sama dengan sembahyang. Persaratan yang harus dipenuhi dalam netepan lebih bersifat dunawiah, jadi dapat dilakukan secara gotong-royong, beruntun, atau sebagian dari keseluruhan dan waktunya bebas seperti hari kerja biasa. Dan bila dikerjakan dirumah, waktunya benar-benar bebas.

* * *

Artikel terkait :

Wejangan Leluhur

Manusia Seutuhnya

Makna dari ‘Ilmu’ & ‘Pengetahuan’ (Bagian I)

Manusia dan fitrahnya

Peranan Perempuan dalam ‘Blueprint’ Panca Sila

Kebijaksanaan dari Visi Kepemimpinan

Jati Diri & Rasa

Berkaca pada Kepolosan Anak-Anak Sebuah Kerukunan Antar Umat Beragama

Reflectiong on Children Innocence of a Harmony Life among People Different Religious

Garuda Pancasila

Bhinneka Tunggal Ika

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

15 Sifat Kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada dalam Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca

Kesadaran Kosmos & Zona Photon

Proyeksi Nusantara

19 Unsur Proses Perjalanan Rohani

The Gaia Project 2012 (Indonesia)

The Gaia Project 2012 (English)

Yoga Class

Pengertian Yoga

Kelas Yoga & Singing Bowl (Genta Tibet)

Asanas Yoga, Jiwa Gembira Melalui Gerakan-Gerakan Tubuh

Asanas Yoga. Healthy & Happy of Body & Soul

Orbs at Yoga Class

Conversation with the ORBS

Leave a comment