Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya (2) Sang Manarah, Penjelmaan Bagawat Sajala-jala yang terbunuh

Diambil dari :

Harian Pikiran Rakyat, 16 Mei 1990

Oleh : Atja

 

 

Carita Waruga Guru (CWG)

Naskah ini telah ditransliterasi dan diterjemahkan kepada bahasa Belanda dan dibicarakan oleh Pleyte (1913), sebagaimana telah saya singgung. Menurut Pleyte naskah itu ditemukan dari ka­buyutan di Kawali (Kabupaten Ciamis).

Naskah “Carita Waruga Guru” (CWG) ditulis pada kertas Eropa, dengan tinta hitam, berukuran ±20 x ±15 cm. Tebalnya 24 halam­an. Berbeda dengan KWJ dan “Ki­tab Pacakaki” (….) yang telah di­singgung, keduanya memakai hu­ruf pegon, CWG ditulis dengan khas aksara pra-Islam, coraknya mirip dengan aksara pada naskah “Carita Parahiyangan”,yang ditu­lis pada lontar (rontal), juga di­temukan di daerah Galuh, dengan sedikit penyimpangan, misalnya aksara /ba ada dua bentuk. Tetapi jauh berlainan dengan apa yang di­sebut dengan aksara buda atau ak­sara gunung, yang ditemukan pada naskah-naskah dan lereng Gunung Merapi-Merbabu, seperti yang di­ungkapkan dalam disertasi Van Der Molen (1983), atau Kantara Wiryamartana (1987). Bentuk ak­sara pada CWG mungkin telah di­buat tabelnya dalam buku Holle (1882), bernomor 91, 92: Ms. Van Galoeh (lontar), tidak berbeda jauh dengan label yang saya buat dalam “Carita Ratu Pakuan” (1969: 25), dan saya beri nama ak­sara Sunda Kuno.

Bahasa pada CWG tidak berbe­da jauh dengan bahasa dalam “Ca­rita Parahiyangan”, tetapi kosa­kata Arab dan cerita para nabi te­lah memberi warna yang menco­lok. Saya kutip contoh dari hal. 1 :

( … )

eta kanyahokeun ratu ga­-

luh kerna bijil ti alam gaib nya

nabi adam di heula ratu galuh di-

­enggonkeun sasaka slam dunya.

( … )

Dari kutipan pendek di atas, ka­ta-kata Arab yang telah masuk alam, gaib, nabi Adam, alam du­nya. Dan tokoh dari cerita nabi­-nabi, Nabi Adam (hlm. 2, 3, 5), Nabi Isis (hlm. 2, 5), Nabi Enoh (hlm. 2, 3, 5. 8, 11), dari “roman” Amir Hamza, nama tempat : Mesir (hlm. 1), Gunung Mesir (hlm. 1), Ratu Mesir (hlm. 6), dan Selong (hlm. 5, 8), gunung jabal kap (hlm. 1), dan tokoh Alamdaur (hlm. 6) serta Seh Majusi (hlm. 11), dan tokoh atau lebih tepat jabatan lokal yang berulang-ulang berperan, ia­lah darmasiksa (hlm. 7, 8, 9, 11, 21).

Apabila kita bandingkan isi KWJ dengan CWG, pada dasarnya banyak persamaannya. Naskah KWJ milik YPS, karena sangat ru­sak, tidak dapat saya baca dengan sempurna dan saya coba me­nyempurnakannya berdasarkan nama-nama yang terdapat dalam CWG. Sebagai contoh biar pun se­dikit berbeda: KWJ (hlm. 1) babar buwana: CWG (hlm. 2) babarbawa­na; KWJ (hlm. 1) … gantungan: CWG (hlm. 2), gandulgantung; KWJ (hlm. 1) sayar: CWG (hlm. 2) siar; KWJ (hlm. 2) ratu … tasari: CWG (hlm. 9) ratu perwatasari.

Mengenai riwayat banjir yang terjadi pada zaman Nabi Enoh (Nuh), antara kedua naskah itu terdapat persesuaian, yang diri­wayatkan, bahwa Pulau Jawa tidak terendam banjir, karena Ratu Ga­luh (KWJ, hlm. 3, 4), atau Ratu Perwatasari Jagat (CWG, hlm. 9), terlebih dahulu telah menciptakan gunung yang tingginya mencapai langit dan seluruh warga ma­syarakatnya diperintahkan naik ke atas gunung itu. Setelah air surut, mereka sekaliannya turun dan tiba di suatu tempat, yang kemudian di­sebut Bojonglopang.

Mengapa tokoh dalam kedua naskah tersebut disebut Ratu Ga­luh? Menurut KWJ (hlm. 3), kare­na: cahya kang metu saking netra (cahaya yang keluar dari mata), te­tapi menurut CWG (hlm. 11), ka­rena: lebak karagragan cibanu eluh, mana jumeneng Ratu Galuh (lembah kejatuhan air mata, maka menjadi Ratu Galuh).

Rata Galuh itu kemudian dice­ritakan berputra tiga orang (dalam KWJ dari istri berbangsa manu­sia!), peristiwanya diceritakan daliam hlm. 12-21, ± 42% dari tebal naskah. Ketiga putra itu, ialah Ha­riang Banga, Ciung Manarah dan Maraja Sakti. Sebutan Ciung Manarah, juga dalam Kitab Pacaka­ki …. (Said Raksakusumah 1973:4) dan pada hlm. 2 dalam KWJ, pada halaman-halaman berikutnya ter­tulis Ciung Manara, Dalam Babad Galuh yang mana pun juga asal di­tulis pada abad 19/20, selalu ditulis: Ciung Wanara, sebagaimana juga ditulis Ciung Wanara dalam “Carita Pantun”, salah satu versinya te­lah dicetak (Pleyte 1911), ditulis Ciung Wanara dan Hariang Banga. Dalam “Babad Tanah Jawi” (edisi Olthof 1941: 12, 14) tertulis: Siyung Wanara dan Ana Banga.

Dalam “Carita Parahiyangan” (Atja 1968: 28-29), tersebutlah to­koh bernama Sang Manarah, pen­jelmaan Bagawat Sajala-jala, yang dibunuh tanpa dosa. Ayahnya ber­nama Rahiyang Tamperan atau Rakeyan Panaraban, putra Ra­hiyang Sanjaya.

Dalam prasasti Canggal (732 Masehi); pada 10-11, diceritakan, bahwa yang mengganti Sang Sanna menjadi raja di Tanah Jawa ialah Sang Sanjaya, putra Sang Sannaha, saudara perempuan Sang Raja Sanna. Dengan demikian Sanjaya adalah tokoh historis & Poerbatjaraka (1952:95) telah mencatat empat buah piagam yang lain: a) piagam, hanya tahunnya saja yang diambil, yakni tahun Sanjaya 174 = 828 Sa­ka (906/7 Masehi), pada waktu itu Sang Daksottama masih menjadi mahamantri dari sang raja Rake Watukura Dyah Balitung; b) pia­gam, hanya tahunnya saja yang di­ambil, yakni tahun Sanjaya 176 = 830 Saka (908/9 Masehi). Pada ke­tika itu Sang Daksottama telah menjadi raja di Jawa Tengah menggantikan Raja Rake Watukura; c) tembaga-tulis berangka tahun 829 Saka (907/8 Masehi) yang dikeluarkan oleh Raja Rake Watukura, Sang Sanjaya disebut: Rakai Mata­ram Sang Ratu Sanjaya; d) piagam berangka tahun 1022 Saka? (1100/1 Masehi?), baginda disebut Ra­hiyangta Sanjaya.

Adapun sebutan Panaraban dan Manara, tercantum dalam sebuah prasasti yang disebut Wanua Tngah III (transliterasi sementara saya dapatkan dari Dr. Ayatrohae­di), untuk jelasnya saya kutipkan sebagian (dengan penyesuaian EYD) :

4. (….) ing saka 706 cetra masa da­sami sukla. pa ka sa. wara angdi­ri rake panaraban, tanninulahu­lah ikanang sawah lan i wanua tngah an tama rikanang bihara i pikatan. ing saka 725 cetramasa sasti sukla. pa u su. wara. mang­diri rakai warakdyah manara. sira ta umabak ikanang sima. pjah rake warak sirang lumah i kelasa ing saka 749 srawanama­sa. caturdasi kresna. (….)

Saya tidak berwewenang untuk membuat tafsiran, namun sepintas lalu dalam prasasti itu nama/gelar Rake Panaraban dan rake warak dyah manara (Yang saya garis ba­wahi dalam kutipan di atas), seper­ti juga dalam “Carita Parahiyang­an” (Atja 1968) ada tertulis: Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anak nira Rakeyan Panaraban, inya Ra­hiyang Tamperan. (….) dan di tempat lain, saya kutip: Mangjan­ma inya Sang Manarah, anak Tam­peran, dwa sapilanceukan deung Rahiyang Banga. (….)

Jika kita bandingkan kutipan-­kutipan di atas berat dugaan saya bahwa berdasarkan kecocokan yang ada, maka baik Rake Pana­raban (prasasti Wanua Tngah), maupun Rakeyan Pararaban atau Rahiyan Tamperan (Carita Para­hiyangan) adalah sebutan untuk seorang tokoh historis, demikian juga Rake Warak Dyah Manara (prasasti Wanua Tngah), juga San Manarah (Carita Parahiyangan adalah sebutan untuk seorang to­koh historis. Kalau meragukan, bandingkan nama Raksakusuma (Jawa: Reksokusumo) dengan Raksakusumah! Jadi: Manara (eja­an Jawa) berbanding Manarah (ejaan Sunda). Maklumlah Carita Parahiyangan dan Carita Waruga Guru berbahasa Sunda, bahkan Kitab Waruga Jagat biarpun ditulis dengan bahasa Jawa, tetapi bahasa Jawa-Cirebon: wignyan pada akhir kata tidak diucapkan (cf Smith 1926: 1).

Lepas dari hal-hal yang telah di­kemukakan di atas (7), di antara kedua naskah itu dalam episode Ciung Manarah dan Hariang Ba­nga terdapat persesuaian, yaitu akhirnya Hariang Banga menjadi Raja Majapahit, sedangkan Ciung Manarah mendirikan Kerajaan Pajajaran. Selanjutnya dikemuka­kan, Hariang Banga menurunkan para ratu Majapahit, kemudian Mataram (Islam), dan berakhir de­ngan menyebut Pangeran Dipati, putra Pangeran Mangkunegara.

Menurut Pleyte (1913: 403, cf Schrieke 1959: 151), Pangeran Mangkunegara naik takhta Mata­ram pada tahun 1719 Masehi dan memerintah hingga tahun 1725 Masehi, dengan gelar Amangkurat IV, kemudian digantikan oleh Pa­ngeran Adipati, dengan gelar Pakubuwana II, baginda berkuasa antara tahun 1725 hingga 1749 Ma­sehi. Maka dengan demikian CWG kemungkinan besar tersusun pada masa di Mataram berkuasa Amangkurat IV, atau mungkin se­belumnya. Pleyte memberikan an­cer-ancer tersusunnya CWG di antara tahun 1705 – 1709 Masehi, ka­rena dalam deretan siisilah dise­butkan juga Susunan Puger, yang berdasarkan kontrak dengan VOC tanggal 5 Oktober 1705, diangkat menjadi Susuhunan Pakubuwana I, setelah mendepak keponakan­nya, Amangkurat III.

Naskah KWJ menyebut ketu­runan Hariang Banga yang ter­akhir ialah Pangeran Dipati Anom, putra Susuhunan Amang­kurat II, cucu Susuhunan Tegalwa­ngi (Amangkurat I), dengan de­mikian saya mengajukan dugaan, bahwa KWJ tersusun pada masa di Mataram berkuasa Susuhunan Amangkurat II, sedangkan masa pemerintahannya dari tahun 1677 hingga tahun 1705, pada tahun itu pula Pangeran Dipati Anom naik takhta dengan gelar Susuhunan Amangkurat III, yang terkenal de­ngan gelar Sunan Mas, pada tahun 1708 setelah direbut kekuasaannya oleh pamannya dengan bantuan VOC, Sunan Mas dibuang ke Selon (Veth 1878: 420-1). Kolofon KWJ, sehagaimana telah disinggung di atas, sebagai catatan penu­lis, selesai ditulis pada Senin malam (Jawa-Sunda malem Salasa), bulan Zulhijjah, tanggal 8, Tahun Alip, 1117 Hijrah, bertepatan de­ngan 23 Maret 1706 Masehi (Joac­him Mayr & Bertold Spuler 1961).

Ratu Galuh dalam CWG dan KWJ pada Wawacan Sajarah Ga­luh yang disunting oleh Dr. Edi S Ekadjati (1981: xxvii), disebut Ra­tu Pusaka, di dalam versi-versi yang lain disehut Maharaja Adimulya, pada Carita Pantun “Ciung Wanara” (Pleyte 1913) Sang Permanadikusumah.

Wawacan “Sajarah Galuh” di­anggap penyunting tersebut dida­sarkan atas pertimbangan perse­suaian judul dengan keseluruhan isinya, dan naskah pembandingnya berjudul “Carios Wiwitan Raja-­raja di Pulo Jawa”. Keduanya menceritakan perkembangan Galuh sejak berdirinya hingga masa pemerintahan Bupati Galuh: Ra­den Arya Adipati Kusumah di Ningrat (1836-86).

Kalau kita perhatikan berjenis­-jenis babad atau sajarah, yang ditu­lis baik anonim maupun menyebut penyalin atau penyusunnya, ham­pir seluruhnya bertumpu dan seba­gai cikal-bakal hanya sampai kepa­da Ratu Galuh tersebut, dengan demikian naskah lontar “Carita Parahiyangan”, biarpun ditemu­kan di Galuh, ternyata tidak mere­ka ketahui isinya.

Dari “Carita Parahiyangan”, yang ditulis di Sumedang, pada ta­hun 1601 Masehi, seperti dijelas­kan oleh Pangeran Wangsakerta dalam Carita Parahiyangan Sakeng Bhumi Jawa Kulwan, sargah perta­ma (CP-1) tertulis episode tokoh­-tokoh Ratu Galuh yang lebih tua.

* * *

Artikel terkait :

Ki Sunda di Tatar Sunda (Indonesia)

Ki Sunda di Tatar Sunda (Sunda)

Menapaki Perjalanan Sunda

Kalender Sunda & Revisi Sejarah

Makanan Sunda

Susunan Warna Kasundaan

Amanat Galunggung Prabu Darmasiksa Leluhur Sunda

Dalam Kenangan, Abah Ali Sastramidjaja

Ras Nusantara

Ketika Jawa Bertemu Belanda

Prasasti Batu Tulis Bogor

Prasasti Ciarunteun Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

Perbedaan Batu Tulis, Petilasan & Makam

The Differences between Written-Stone, Petilasan Sites (Paths in the past) & Tomb

Baduy-Sebuah Perjalanan Batin ke Suku Kuno tahun 1959

Kebon Raya Bogor

Sejarah Bangsa & Tanah Air Indonesia (Purbakala/The Last Continent)

Peninggalan Prasejarah Masa Perundagian

Prehistoric Remains from the Bronze-Iron Age

Prehistoric Remains from Neolitic Stage

Peninggalan Prasejarah Zaman Bercocok Tanam

Prehistoric Sites Along the Banks of Ciliwung River

Peta Lokasi Situs Prasejarah di Daerah Aliran Sungai Ciliwung

Tokoh-Tokoh Galuh Menurut Wangsakerta

Galuh Berarti Putri Bangsawan atau Sejenis Batu Permata

Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya, Sang Manarah

Gurindam Dua Belas

Boats & Ships during Kingdoms Era in Nusantara Archipelago

Perahu-Perahu di Masa Kerajaan Nusantara

Asal-Usul Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia

Kerajaan Salakanagara

Kerajaan Tarumanagara

Kerajaaan Indraprahasta

Kerajaan Kendan

Kerajaan Galuh

Kerajaan Sunda

Wangsa Sanjaya

Kerajaan Saunggalah

Kerajaan Sunda-Galuh

Kerajaan Kuningan

Kerajaan Cirebon

Perang (Pasundan) Bubat

Kerajaan Sumedang Larang

Kerajaan Pajajaran

Kerajaan Sunda Kelapa – Jayakarta – Batavia

Kerajaan Banten

Kerajaan Talaga

Tabel Pemimpin Kerajaan Sunda, Galuh

Musik/Music

Musik Etnik Nusantara/Nusantara Ethnic Music

Musik Yoga, Meditasi & Terapi / Yoga, Meditation & Therapy Music

6 responses to “Keberadaan Galuh Sepanjang Sejarahnya (2) Sang Manarah, Penjelmaan Bagawat Sajala-jala yang terbunuh”

  1. Sungguh menarik membaca cerita ttg Galuh,…
    Mun makam raja-raja na ayeuna lokasi dimana ,…?
    jeung naon parlambang dina makam eta nu nganut Agama Hindu
    Bunga,… matahari atawa Bunga Bangkai atawa nu sanesna,…?

  2. Untuk melengkapi pengetahuan anda dapat melihat artikel berikut :
    https://artshangkala.wordpress.com/2009/05/15/perbedaan-batu-tulis-petilasan-dan-makam/ Mengenai agama masing-masing kerajaan memiliki ageman berbeda-beda. Anda dapat membacanya satu persatu. Silahkan search : kerajaan.Nanti anda akan menemukan sejarah&silsilah kerajaan dari Salakanagara, Tarumanegara hingga Banten & Talaga.Bila belum lengkap pula, anda dapat memesan bukunya dari kami (Kerajaan Jawa Barat, Kerajaan Jawa Tengah & Jawa Timur, para pejabat VOC di Jawa). Email kami tuk lengkapnya.Haturnuhun.

  3. Salam rahayu.
    Tentang Kanjeng Gusti Sanghyang Agung Ratu Galuh Pandita Ajar Sukaresi Permanadikusumah, ruh alam semesta, kala panca tunggal, Sanghyang Widi, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Cipta, Sanghyang Wenang, Sanghyang Taya, sang hampa sumber kakuatan alam semesta.
    Aku adalah udara yang tidak dapat disentuh dan diraba, Aku ada dalam setiap tarikan dan hembusan napas, galuh, galeuh, galihan jiwa-jiwa suci para pemilik kebenaran sejati, Aku adalah mereka, mereka adalah Aku.

    1. Haturnuhun Kang infonya.
      Betul sekali kang…dahulu para karuhun Sunda, leluhur Nusantara pengetahuannya luhung (luhur dan agung). Kesadaran mereka meliputi kesadaran tubuh fisik, akal & batin. Merekapun menyatu dengan seluruh elemen alam yang ada di lautan, gunung, danau, bumi dan isinya serta semesta alam. Namun semakin lama, para leluhur, karuhun yang menguasai pengetahuan luhung jumlahnya berkurang, meskipun skr masih ada yang tersisa, yg hidupnya sdh menepi, sebagian d gunung-gunung. Menurut mrk sulit memberi pemahaman atau pengetahuan pd org2 jaman ini. Kebanyakan orang tak peduli seni, budaya apalagi pengetahuan batin.

  4. Nama lainnya adalah:
    1. Ratu Galuh Pandita Ajar Kawasa.
    2. Ratu Galuh Pandita Ajar Sakti.
    3. Ratu Galuh Pandita Ajar Sidik.
    4. Ratu Galuh Pandita Ajar Padang.
    Nu linggih di Gunung Padang, nu madangkeun sabumi alam. Ratu Galuh, Ratu Pusaka, jujul ka langit, nu pangartina saluhureun langit.

  5. Haturnuhun Kang Permadi tambahan infonya 😉

Leave a comment