Jati Diri & Rasa (bagian I)

Oleh : SKTP

hs-2001-16-p-full_jpg

Mengapa? Berapa lama sudah kita bertanya-tanya, sehingga orang merasa jenuh dan akhirnya menunggu sambil menghabiskan waktu dengan bekerja atau berlibur dengan keluarga, berdiskusi dan ngobrol dengan satu orang atau dua orang bahkan lebih. Tapi adakah pertanyaan itu terjawab? Semua orang akan melewatkan waktunya dengan cara yang berbeda-beda. Padahal masing-masing dengan kepura-puraan dan kemunafikan dalam hatinya selalu ada pertanyaan yang masih sama dengan hari yang kemarin. Pertanyaan ini bukan ditujukan hanya untuk politisi, karyawan, pengusaha, atau petani bahkan kalangan rakyat kecil yang makan cukup dengan ikan asin dan tempe serta sedikit kangkung setiap hari.

Pertanyaan “mengapa” selalu kita tujukan keluar diri ini, kalaupun ke dalam hanya sebatas pikiran lalu jadi obrolan tanpa solusi, kalaupun ada solusi hanya untuk kepentingan diri kita sendiri. Aku, perusahaanku, jabatanku, kekuasaanku, keluargaku dan semua hanya ‘aku’. Aku yang di luar bukan yang di dalam. Berapa banyak yang diciptakan oleh manusia yang mempunyai kelebihan dari mahluk lain yaitu “akal”. Sampai sejauh mana manusia akan bertanggung jawab dengan akal yang telah diberikan sebagai karunia dan rahmat dari Tuhan. Dengan akal manusia menciptakan banyak hal yang bermanfaat sampai dengan yang tidak bermanfaat. Bahkan dengan akal ini manusia menciptakan mesin pembunuh bagi manusia lain.

Tidak usah lagi kita menceritakan tentang apa yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Apapun solusi yang ada hanya semakin menambah penderitaan bagi kaum yang lemah yaitu rakyat kecil ini. Kenyataan yang ada sekarang ini adalah ‘negara hanya dimiliki oleh segelintir orang’. Padahal pemimpin bangsa ini terdiri dari kaum intelektual, cendekiawan, bahkan rohaniawan. Malahan ada pemimpin agar bisa menarik simpati rakyat menulis buku tentang rohani sebagai dagangan politis yang sebenarnya bukan dari otaknya tapi pinjam otak orang lain. Lembaga yang mengatur agama tapi sarang korupsi. Apa lagi yang kurang buruk dari semua ini.

Kita mengatakan bahwa negara dan bangsa ini telah kehilangan ‘jati diri’. Berarti manusia yang menghuni negara ini yang disebut bangsa juga telah kehilangan jati diri. Apa yang disebut jati diri? Sehingga dengan mudah kita menghakimi bangsa dan negara kita sendiri. ‘Jati diri’ tidak pernah hilang! Dalam diri manusia setiap individu tanpa terkecuali ada jati diri. Tanpa itu kita tidak berarti apa-apa dan bukan siapa-siapa. Jika boleh kita katakan bahwa jati diri negara ini adalah ‘Panca Sila’ itu hanyalah berupa bentuk susunan kata lalu dimana wujud yang sebenarnya? Sesuatu yang dikatakan berwujud pasti ada perbuatan. Apakah kita sudah benar-benar mewujudkan ‘Panca Sila’ sesuai dengan perbuatan kita sebagai bangsa Indonesia?

Seperti seorang arsitek ingin membuat sebuah rumah sebelumnya sang arsitek terlebih dulu membuat ‘bentuk’ gedung berupa gambar, lalu jika telah selesai harus diwujudkan sesuai dengan gambar yang telah disepakati. Untuk merubah ‘bentuk’ menjadi ‘wujud’ harus ada perbuatan, maka dibangunlah rumah sesuai dengan bentuk gambar tersebut. Setelah wujud rumah selesai barulah mengisi ruangan dalam rumah sesuai dengan fungsinya agar orang yang menempati rumah tersebut merasakan aman dan nyaman didalamnya.

Apakah kita sudah mewujudkan bentuk Panca Sila dalam sebuah negara lalu mengisinya dengan aturan dan tatanan sesuai dengan bentuk yang sudah disepakati?

Dalam urutan pertama dalam Panca Sila kita membaca keTuhanan Yang Maha Esa. Maha Esa. Maksud dari kalimat ini bahwa bangsa Indonesia menyembah Tuhan yang ‘satu’ tanpa membedakan agama yang mana sebagai jalan tempat orang tersebut menyembah Tuhan yang satu. Siapapun atau suku apapun mempunyai kebebasan dengan caranya dalam menyembah Tuhan yang satu. Tapi dalam kenyataannya manusia berebut benar dengan agamanya masing-masing, hingga sampai membunuh sesama umat manusia. Tujuan manusia beragama adalah menyembah Tuhan. Tuhan adalah tujuan sedangkan agama adalah jalan untuk mencapai tujuan.

Bagaimana kita bisa hidup dalam kerukunan beragama jika kita hanya melihat jalan tapi lupa akan tujuan. Padahal ada lembaga dipemerintahan yang mengatur tentang hal ini. Apakah tidak sebaiknya lembaga tersebut dibubarkan saja? Apalagi jika terbukti koruptor marajalela disana.

Dalam menyembah kepada Tuhan mengapa harus ada aturan sedangkan itu adalah urusan individu mahluk dengan sang Khalik. Jika agama menjadi titik tolak bagi kerukunan umat dan juga sebagai landasan dasar bagi manusia di bumi Indonesia ini dalam mengatur tatanan hidup sehari-hari baik dalam berbangsa maupun bernegara. Mengapa kejahatan semakin marajalela? Bahkan seorang bapak dengan tanpa rasa bersalah memperkosa anaknya sendiri , anak di bawah umur diperkosa hanya karena alasan istri tidak mau melayani atau anak-anak remaja bisa membunuh orang tua karena tidak diberi uang untuk beli ganja, heroin dan pil mabok? Koruptor marajalela tidak dihukum. Lantas apa peran lembaga yang mengurus soal agama yang menjadi dasar tatanan hidup ini, sedangkan lembaga tersebut adalah ajang korupsi?

Dan apa yang akan terjadi dalam negara dan bangsa ini jika ulama mendekati kekuasaan dan berpolitik dengan mempengaruhi umat, seolah-olah yang ada dipikiran umat yang mendukung ulama pasti negara akan tenang dan mungkin akan masuk surga jika yang jadi presiden republik ini adalah kyai atau ustad. Agama tidak ada dalam politik dan politik tidak ada dalam agama. Akhirnya kyai yang menjadi ketua salah satu partai diberitakan korupsi uang partainya sendiri. Ironis!

Masihkah kita tetap akan tertidur dalam angan-angan semu sedangkan kenyataan berbicara lewat caranya. Masihkah kita akan terus berharap jika kenyataan ini terus memperlihatkan perbuatan manusia yang melampaui batas dan melanggar hukum negara juga hukum alam. Masihkah kita akan tetap bertahan dengan pasrah menerima keadaan yang bisa dirubah asal kaum ini mau merubah dirinya. Masihkah kita terus menunggu akan turun kebijakan untuk rakyat ini dari pemimpin yang tidak sadar bahwa mereka adalah pelayan yang harus melayani rakyatnya bukan menguasai rakyatnya dan menindas rakyatnya? Jika kita masih ingin tidur dalam kenyataan semua ini maka sudah dipastikan kaum inipun sudah melampaui batas hukum alam karena menganiaya dirinya sendiri dan menganiaya bumi yang telah memberi segalanya pada umat manusia.

Patutkah manusia yang telah menganiaya lantas mengatakan pada Sang pencipa untuk tidak diberi cobaan, dan dilindungi dari bencana, Patutkah kita meminta dijauhkan dari azab ini karena perbuatan kita sendiri? Pantaskah kita berteriak pada Tuhan Maha Semesta Alam ini dengan mengatakan ‘Jangan Tuhan…jangan..dan jangan’ sedangkan laranganNya telah kita langgar? Tuhan berfirman “Hai manusia janganlah kamu menganiaya sesama manusia dan jangan kamu merusak bumi yang dengan itu kamu kamu hidup didalamNya”. Dua kali larangan ‘jangan’ Tuhan dilanggar sementara kaum ini berdoa memohon dengan seribu kata “jangan’ padaNya. Apa yang telah dilanggar oleh manusia sehingga melampaui batas dalam perbuatan? Manusia telah menyia-nyiakan rahmat dan karuniaNya yang telah diberikan pada kita melebihi mahluk yang lain yaitu ‘AKAL’.

Dimanakah letak akal pada diri manusia ini jika apa yang kita perbuat hanya untuk menganiaya diri sendiri dan orang banyak? Pada saat kita mau dengan jujur bertanya tentang apa itu akal, maka berarti kita masuk dalam perubahan mendasar pada diri kita sendiri. Lalu dimana jawaban atas pertanyaan itu? Ada dalam diri manusia itu sendiri. Manusia adalah sumber pertanyaan dan sekaligus sumber jawaban bagi dirinya sendiri. Sama dengan seorang murid bertanya kepada gurunya maka guru akan menjawab sesuai dengan pertanyaan sang murid. Tapi kalau murid diam tanpa bertanya maka sang guru menganggap murid telah mengerti dan tahu. Tapi pada saat murid bertindak tanpa lebih dulu bersikap dan berpikir lalu hasilnya mengecewakan sang murid itu sendiri maka itu bukan menjadi tanggung jawab dari sang guru. Karena kita harus dulu mencari jawaban atas pertanyaan agar menjadi tahu dan mengerti sebelum kita bersikap dan berpikir untuk melangkah pada tindakan menjadi  perbuatan. Itulah gunanya kita ‘belajar’ dalam kehidupan ini.

Apakah selama ini kita benar-benar menggunakan akal sebagai petunjuk dalam melakukan perbuatan atau hanya sekedar menggunakan pikiran yang sifatnya selalu berubah-ubah?

Manusia mempunyai tubuh yang merupakan wadah dan dilengkapi dengan komponen-komponen di dalam tubuhnya. Salah satu alat yang paling penting yaitu ‘otak’. Otaklah yang menggerakkan manusia untuk mengaktifkan kerja indera-indera pada diri manusia. Sedangkan pikiran bertugas untuk menyimpan apa yang dilihat, didengar, dirasa, diraba dan dicium berupa memori dalam otak kita. Manusia mempunyai naluri yang berfungsi sebagai ‘keinginan’ dikontrol kerjanya oleh alat yang bernama ‘intelek’. Jadi posisi naluri ada di bawah inteleknya manusia  Jika naluri diletakkan diatas intelek maka manusia sama dengan penghuni ‘kebun binatang’. Karena hanya menggunakan naluri manusia sama seperti binatang. Intelek inilah yang dinamakan pikiran disebut ‘intelek parsial’. Perbuatan yang dilakukan oleh raga atau anggota tubuh ini berasal dari ‘Bayang-bayang’ pikiran. Karena bayang-bayang pikiran berada diatas perbuatan maka bayang bayang dalam pikiran tidak kelihatan tapi pikiran memiliki bayang-bayang yang tidak terbayang. Apabila tak ada bayang-bayang pikiran pada manusia maka tidak ada satupun anggota tubuh ini akan bergerak melakukan perbuatan. Seperti itulah kenyataan pikiran. Anggota tubuh ini hanya sekedar alat pelaksana

Coba buktikan hal ini, tanyalah pada seorang dokter ahli otak, dimanakah letak pikiran? Pasti dokter tersebut akan menjawab otak adalah pikiran. Dengan kesombongan dokter pada ilmu pengetahuannya maka saat ini banyak dokter yang diuji dengan ‘mal praktek’ agar sedikit rendah hati dan mau belajar lagi. Para dokter umumnya tidak pernah mau mengakui bahwa sumber penyakit pada manusia adalah pikiran. Kalaupun ada dokter dalam ilmu jiwa mengakui bahwa penyakit jiwa terjadi karena pikiran, tapi orang yang dirawat dirumah sakit jiwa bukan sembuh malah tambah gila. Berarti dokter ilmu jiwa harus belajar lagi mengenai apa yang disebut pikiran.

Ada lagi yang lebih menarik dalam suatu pertemuan seseorang bicara tentang bentuk fisik dari kepulauan Indonesia jika disimbolkan sama dengan bentuk tubuh ini, Aceh adalah kepala, Irian adalah pantat, Sulawesi adalah pinggul, Kalimantan adalah dada lalu pulau Jawa adalah wujud tubuh secara keseluruhan. Jika negara ini disimbolkan dalam bentuk tubuh yang sempurna seperti ini lalu mengapa semakin banyak tatanan dan aturan yang tidak berjalan dengan benar dan wajar malah semakin kacau? Anggota tubuh harus ada jiwa dan sukma. Tanpa jiwa dan sukma maka tubuh hanya bangkai. Jadi negara ini tidak tahu jiwanya ada dimana dan sukma entah menghilang kemana karena hanya punya tubuh.

* * *

Artikel terkait :

Wejangan Leluhur

Manusia Seutuhnya

Manusia dan Fitrahnya

Kehidupan

Peranan Perempuan dalam Skenario Blueprint Pancasila

Makna dari Ilmu & Pengetahuan (Bagian I)

Kebijaksanaan dari Visi Kepemimpinan

Jati Diri & Rasa

Reflectiong on Children Innocence of a Harmony Life among People Different Religious

Garuda Pancasila

Bhinneka Tunggal Ika

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

15 Sifat Kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada dalam Negara Kertagama oleh Mpu Prapanca

Kesadaran Kosmos & Zona Photon

Proyeksi Nusantara

19 Unsur Proses Perjalanan Rohani

The Gaia Project 2012 (Indonesia)

The Gaia Project 2012 (English)

Serat Jayabaya (Jawa)

Ramalan Jayabaya (Indonesia)

Jayabaya Prophecy (English)

Thanks for What We Have – Music Performance at the Orphanage

Yoga Class

Pengertian Yoga

Kelas Yoga & Singing Bowl

Asanas Yoga, Jiwa Gembira Melalui Gerakan-Gerakan Tubuh

Asanas Yoga. Healthy & Happy of Body & Soul

Yoga Ibu Hamil

Prenatal Yoga

Meditasi

Rileksasi Dalam

Meditation

Cakra & Kundalini

Heart, Hands & Orbs at Merapi Volcano, Central Java

The Studio Wellness Program at The Stones, Kuta, Bali

Surya Candra Bhuana

Orbs at Yoga Class

Orbs & Light Beings in Ancient Tribe, Java-Indonesia

Conversation with the ORBS

Perguruan Silat Tadjimalela

Prosesi Ala PS Tadjimalela

Pelatihan Perguruan SIlat Tadjimalela

Pengalaman Pelatih Silat Lokal di Kancah Global

Momen Pelatihan dan Kejuaraan Timnas Indonesia

PS Tadjimalela – Konsolidasi Batin dalam Halal bi Halal

Kerajaan Sumedang Larang

Prosedure Darurat Gempa Bumi

Krakatau (Indonesia)

Krakatau (English)

Earthquake Emergency Procedure

Earthquake Cloud

Awan Gempa

Tanda-Tanda Dari Hewan Terhadap Bencana Alam

Animal Signs of Natural Disaster

Gurindam Dua Belas

Boats & Ships during Kingdoms Era in Nusantara Archipelago

Perahu-Perahu di Masa Kerajaan Nusantara

Asal-Usul Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia

Leave a comment